Diberdayakan oleh Blogger.
 
Senin, 21 Mei 2012

HUJAN KENIKMATAN

0 komentar



Pada siang hari bolong itu awan semakin mengelap, mendung yang menggantung dengan angin menderu kencang menandakan sebentar lagi hujan deras akan turun. Pa’le Aji menyuruh Murni segera bersiap dengan memberesi ceret air dan rantang makanannya kemudian mereka bergegas pulang sebelum hujan turun. Murni adalah istri Wiji keponakan Pa’le Aji yang sejak kecil ikut Pa’le nya. Pa’le Aji ini adalah kakak bapaknya yang tidak mempunyai anak sendiri. Dan sesudah menikah pasangan itu tetap mengikuti Pa’le nya yang sangat sayang pada keponakannya. Sehari-hari mereka bahu membahu mencari sesuap nasi membantu Pa’le di sawah atau Bu’lenya yang buka warung kecil-kecilan di rumahnya. Seperti biasanya menjelang siang Murni mengantarkan makanan dan minuman Pa’le nya yang kerja di sawah. Hari itu kebetulan Wiji pergi ke kota untuk membeli pupuk dan bibit tanaman.
Rupanya hujan keburu turun sementara mereka masih di tengah hamparan sawah desa yang sangat luas itu. Hujan ini luar biasa lebatnya. Disertai dengan angin yang menggoyang keras dan nyaris merubuhkan pohon-pohon di sawah hujan kali ini sungguh luar biasa besarnya. Sebagai petani yang telah terbiasa denagn kejadian semacam ini dengan enteng Pa’le Aji membabat daun pisang yang lebar untuk mereka gunakan sebagai payung guna sedikit mengurangi terpaan air hujan yang jatuh di wajah mereka yang menghambat pandangan mata.
Sambil memanggul cangkulnya Pa’le Aji merangkul bahu Murni erat-erat agar payung daun pisangnya benar-benar bisa melindungi mereka. Murni merasakan kehangatan tubuh Pa’le nya. Demikian pula Pa’le Aji merasakan kehangatan tubuh Murni yang istri keponakannya itu. Jalan pematang langsung menjadi licin sehingga mereka berdua tidak bisa bergerak cepat. Sementara pelukan mereka juga bertambah erat karena Pa’le Aji khawatir Murni jatuh dari pematang. Kadang-kadang terjadi pergantian, satu saat Murni yang memeluki pinggang Pa’le nya. Tiba-tiba ada setan birahi yang melihat mereka dan langsung menyambar ke duanya.

Saat Pa’le Aji memeluk bahu Murni tanpa sengaja beberapa kali menyentuh payudaranya. Pada awalnya hal itu tidak mempengaruhi Pa’le , tetapi hawa dingin yang menyertai hujan itu ternyata mendatangkan gelisah di hatinya. Kegelisahan yang bisa merubah perasaannya. Saat pertama kali Pa’le Aji tanpa sengaja menyentuh payudara istri keponakannya dia agak kaget, khawatir Murni menganggap dirinya berlaku tidak sopan. Tetapi saat yang kedua kali dan kemudian dengan sadar menyentuhnya kembali untuk yang ketiga kalinya dia tidak melihat adanya reaksi menolak dari Murni, pikiran Pa’le mulai dirasuki setan birahi tadi. Dan pelan-pelan tetapi pasti kontol di balik kolornya mulai menghangat dan bangun. Toh rasa ke-imanan Pa’le Aji masih berusaha bilang “jangan” walaupun tak bisa dipungkiri bahwa dalam hatinya dia mengharapkan sesuatu keajaiban, mungkin semacam sinyal, yang datang dari Murni.
Demikian pula Murni yang merasakan beberapa kali payudaranya tersentuh, pada awalnya dia tidak sepenuhnya menyadari. Tetapi saat tersentuh untuk yang kedua kalinya dia mulai mengingat sentuhan yang sama yang sering dilakukan oleh suaminya Wiji. Biasanya kalau Wiji menyentuh macam itu pasti ada maunya. Pikiran lugu Murni langsung disambar setan birahi lagi. Adakah macam kemauan suaminya itu juga melanda kemauan Pa’le nya di hari hujan yang dingin ini? Tetapi sebagaimana Pa’le Aji, Murni juga berusaha menepis pikiran buruknya dan berkata dalam hatinya “nggak mungkin, ah”. Walaupun dibalik sanggahannya sendiri itu bersemi di hati kecilnya, akankah datang sebuah keajaiban yang membuat tangan Pa’le nya menyentuh payudaranya lagi? Maka, ketika pelukkan Pa’le Aji pada bahu Murni yang semakin mengetat dan menyebabkan sentuhan ke tiga benar-benar hadir, hal itu sudah merupakan awal kemenangan sang setan birahi tadi.
Demikian pula saat hujan yang semakin deras dan jalan yang semakin licin hingga mengharuskan mereka menyesuaikan dan mengganti posisi pelukan agar tidak jatuh dari pematang, pelukan Murni dari arah punggung pada pinggang dan dada Pa’le nya mendorong lajunya bisikkan setan birahi tadi. Buah dada Murni yang empuk menempel hangat di punggung dan tangan halus Murni yang menyentuh perut dan dada, membuat kontol Pa’le nya benar-benar tidak tahu diri. Keras mencuat ke depan seperti cengkal kayu yang menonjol pada sarung anak yang disunat. Untung Murni berada di belakangnya sehingga gangguan teknis itu tidak terlihat olehnya. Pa’le Aji mulai mencari-cari apa jalan keluarnya?
Demikian pula yang dirasakan Murni saat memeluki Pa’le-nya dari belakang. Tangannya yang ketat memeluk perut dan dada Pa’le nya membuat buah dadanya demikian gatal saat tergosok-gosok punggung Pa’le yang tidak mungkin terdiam karena setiap langkah kaki Pa’le nya pasti akan menggoncang seluruh bagian-bagian tubuhnya. Kegatalan macam itu menjadi terasa nikmat saat Murni mengingat bagaimana Wiji suaminya sering menggosokkan wajahnya ke payudaranya. Mudah-mudahan Pa’le-nya tidak keberatan dengan pelukannya, demikian pikiran lugu Murni. Kemudian sang setan birahi kembali membisikkan ke dalam pikirannya, mudah-mudahan rumahnya semakin menjauh dan hujannya semakin menderas, yang disusul dengan seringai gigi taringnya karena gembira melihat usahanya telah meraih kemenangannya secara mutlak. Sekarang tinggal menggiring Pa’le dan keponakkan mantunya ini menuju ke ke sentuhan setannya yang terakhir.
Hujan yang demikian hebat ini membuat jam satu siang hari bolong itu gelap serasa menjelang maghrib. Awan gelap masih memenuhi langit. Dan lebih seram lagi kilat dan petir ikut menyambar-nyambar. Pikiran Pa’le Aji dan Murni sekarang adalah mencari tempat berteduh. Pa’le Aji tidak kehilangan arah. Dia tahu persis kini berada di petak sawah milik Wiyono tetangganya. Kalau dia belok sedikit ke kanan dia akan menjumpai dangau untuk berteduh. Dan benar, begitu Pa’le Aji yang dalam pelukan Murni belok kekanan nampak bayangan kehitaman berdiri tegak di depan jalannya. Mereka berdua memutuskan untuk berhenti dulu menunggu hujan sedikit reda.
Murni bisa menurunkan beban gendongannya ke amben bambu yang ada di situ. Kini mereka saling memandang. Murni memandang kaos oblong Pa’le nya yang basah kuyup lengket di tubuhnya dan menunjukkan bayangan dadanya yang gempal berotot. Sementara Pa’le Aji melihat kebaya dan kain di tubuh Murni yang istri keponakannya basah kuyup dan membuat bayangan tubuhnya yang sintal dengan payudaranya yang menggembung ke depan. Dengan setengah mati Pa’le Aji berusaha menyembunyikan tonjolan kontolnya pada celana kolornya.
Pa’le Aji memperkirakan jarak dangau itu ke dusunnya kira-kira “se-udut”-an, sebuah perhitungan yang biasa dipakai orang desa mengenai jarak dekat atau jauh diukur dari sebatang rokok yang dinyalakan (dihisap). Mungkin sekitar sembilan menit orang jalan kaki. Sementara itu tak bisa diharapkan akan ada orang lewat sawah ini dalam keadaan hujan macam begini. Pandangan mata secara jelas ke depan tidak lebih dari 5 meter, selebihnya kabut hujan yang menyelimuti seluruh hamparan sawah itu.

Dalam usaha menghindar percikan hujan di dangau Pa’le Aji dan Murni harus duduk meringkuk ketengah amben yang relatip sangat sempit yang tersedia. Artinya seluruh anggota tubuh harus naik ke amben sehingga mau tidak mau mereka harus kembali berhimpitan. Dan sang setan birahi kembali hadir menawarkan berbagai pertimbangan dan keputusan.
Murni yang ditimpa hujan dan hawa dingin menggigil. Demikian juga Pa’le Aji. Untuk menunjukkan rasa iba pada istri keponakannya Pa’le meraih pundak Murni dan membagikan kehangatan tubuhnya. Dan untuk menghormati maksud baik Pa’le nya Murni menyenderkan kepalanya pada dadanya. Walaupun pakaian mereka serba basah tetapi saat tubuh-tubuh mereka nempel kehangatan itu terjadi juga. Dan pelukan yang ini sudah berbeda dengan pelukan saat awal Pa’le Aji membagi payung daun pisangnya tadi. Pelukan yang sekarang ini sudah terkontaminasi secara akumulatip oleh campur tangan sang setan birahi tadi.
Saat kepala Murni terasa pasrah bersender pada dada, jantung Pa’le Aji langsung tidak berjalan normal. Dan tonjolan di celananya membuat susah memposisikan duduknya. Demikian pula bagi Murni. Saat Pa’le nya meraih bahunya untuk memberikan kehangatan pada tubuhnya dia merasakan seakan Wiji yang meraihnya. Dengan wajahnya yang mendongak pasrah menatap ke wajah Pa’le nya Murni semakin menggigil hingga kedengaran giginya yang gemelutuk beradu. Dan inilah saatnya si setan lewat melemparkan bisikan racunnya yang terakhir kepada Pa’le Aji.
“Ambil!, Ambil!, Ambil!, Ambil!”, dan Pa’le tahu persis maksudnya.
Seperti bunga layu yang jatuh dari tangkainya, wajah Pa’le Aji langsung jatuh merunduk. Bibirnya menjemput bibir Murni yang istri keponakkannya itu. Dan desah-desah lembut dari dua insan manusia itu, membuat seluruh rasa dingin dari baju yang basah dan tiupan angin menderu akibat hujan lebat itu musnah seketika dari persada Pa’le Aji maupun persada Murni. Mereka kini saling melumat. Si setan birahi cepat berlalu untuk menghadap atasannya dengan laporan bahwa otomatisasi setannya sudah ditinggal dan terpasang dalam posisi “ON” pada setiap dada korbannya. Kini dia berhak menerima bintang kehormatan para setan. Dan lumatan lembut menjadi pagutan liar.
Kini lidah dan bibir mereka saling berebut jilatan, isepan dan kecupan. Dan bukan hanya sebatas bibir. Jilatan, isepan dan kecupan itu merambah dan menghujan ke segala arah. Keduanya menggelinjang dalam gelombang dahsyat birahi. Murni menggeliatkan tubuhnya minta agar Pa’le nya cepat merangkulnya. Pa’le Aji sendiri langsung memeluki dada Murni. Wajahnya merangsek payudaranya. Dikenyotnya baju basah penutup buah dadanya. Murni langsung mengerang keras-keras mengalahkan suara hujan. Kaki-kakinya menginjak tepian amben sebagai tumpuan untuk mengangkat-angkat pantatnya sebagai sinyal untuk Pa’le-nya bahwa dia sudah menunggu tindak lanjut operasi cepat Pa’le nya.
Pa’le Aji memang mau segalanya berjalan cepat. Waktu mereka tidak banyak. Segalanya harus bisa diraih sebelum hujan reda. Dan operasi ini tidak memerlukan prosedur formal. Kain penutup tubuh Murni cukup dia singkap dengan tangannya hingga ke pinggang. Nonok Murni yang menggembung nampak sangat ranum dalam bayangan jembutnya yang lembut tipis. Kelentitnya nampak ngaceng mengeras menunggu lumatan lidahnya. Tak ada yang ditunggu, wajah Pa’le Aji langsung merangsek ke kemaluan ranum itu. Bibir dan lidahnya melumat dan menghisap seluruh perangkat kemaluan itu.
Tangan Murni menangkap kepala Pa’le nya, menekannya agar lumatan dan jilatan Pa’le nya lebih meruyak masuk ke dalam Memeknya. Cairan birahi yang asin hangat bercampur dengan air hujan dia sedot dan telan untuk membasahi kerongkongannya yang kering kehausan. Itil Murni dia lumat dan gigit dengan sepenuh gemasnya. Tekanan Murni pada kepalanya berubah jadi jambakkan pada rambutnya. Pantat Murni terus naik-naik menjemput bibir dan lidah Pa’le nya. Tetapi Pa’le Aji tidak akan mengikuti kemauan idealnya. Hitungan waktu mundurnya sudah dimulai.
Kini Pa’le Aji yang sudah meninggalkan celana kolornya di rerumputan pematang, merangkak ke atas dan memeluki tubuh basah hujan Murni. Kontolnya berayun-ayun mencari sasarannya. Paha Murni yang hangat langsung menjepit tubuh Pa’le nya dengan nonoknya yang tepat terarah ke ujung kontol Pa’le Aji. Untuk langkah lanjutannya, mereka berdua, baik yang senior maupun yang yunior sudah terampil dengan sendirinya. Ujung kontol Pa’le Aji sudah tepat berada di lubang Memek istri keponakannya.
Mereka telah siap melakukan manuver akhir sambil menunggu hujan reda. Dan saat mereka saling dorong, Kontol nikmat Pa’le Aji langsung amblas ditelan Memek Murni. Sambil bibir-bibir mereka saling melumat, Pa’le Aji mengayun dan Murni menggoyang. Kontol dan Memek Murni bertemu dalam kehangatan nafsu birahi ruang luar, ditengah derasnya hujan, tiupan angin dan kilat serta petir yang menyambar-nyambar dengan disaksikan oleh segenap dangau yang lengkap dengan berisik ambennya, oleh belalang yang ikut berteduh di atapnya, oleh kodok yang bersuka ria menyambut hujan, oleh wereng yang berlindung di daunan padi yang sedang menguning, oleh baju-baju mereka yang basah dan lengket di badan.
Pa’le Aji mempercepat ayunan kontolnya pada lubang kemaluan Murni. Walaupun dia sangat kagum sekaligus merasai nikmat yang sangat dahsyat atas penetrasi kontolnya pada lubang Memek Murni yang serasa perawan itu, dia tetap “concern” dengan waktu. Murni yang menikmati legitnya kontol Pa’le nya menggelinjang dengan hebatnya. Dia juga ingin selekasnya meraih orgasmenya. Genjotan kontol Pa’le nya yang semakin cepat pada kemaluannya mempercepat dorongan untuk orgasmenya. Kini dia merasakan segalanya telah siap berada di ujung perjalanan. Dan dengan jambakan tangannya pada rambut Pa’le Aji, bak kuda betina yang lepas dari kandangnya Murni memacu seluruh saraf-saraf pekanya.
Kedua kakinya dia jejakkan keras-keras pada tepian amben dangau hingga pantatnya terangkat tinggi untuk menelan seluruh batang kontol Pa’le Aji dan datanglah malaikat nikmat merangkum seluruh otot, daging dan tulang belulang Murni. Cairan birahi Murni muncrat melebihi derasnya hujan siang itu. Terus muncrat-muncrat yang diikuti dengan pantatnya yang terus naik-naik menjemputi kontol Pa’le Aji yang juga terus mempercepat sodokkannya untuk mengejar kesempatan meraih orgasme secara berbarengan dengan orgasme Murni.
Dan pada saat puncratan cairan Memek Murni mulai surut kontol Pa’le Aji yang masih kencang mengayun Memek Murni tiba-tiba berkedut keras. Kedutan besar pertama menumpahkan bermili-mili liter air mani yang kental lengket dari kantong spermanya. Dan kedutan berikutnya merupakan kedutan pengiring yang menguras habis kandungan sperma dari kantongnya.
Sesaat kemudian bersamaan dengan surutnya hujan mereka berdua Pa’le Aji dan Murni yang istri keponakannya terengah-engah dan rebah. Amben dangau itu nyaris terbongkar. Bambu-bambunya ada yang lepas terjatuh. Mereka kini kegerahan dalam dinginnya sisa hujan. Keringat mereka bercucuran rancu dengan air hujan yang membasahi sebelumnya. Pa’le Aji dan Murni telah meraih kepuasan yang sangat dahsyat. Pelan-pelan mereka bangkit dari amben dan turun ke pematang kembali. Murni membetulkan letak kain dan kebayanya. Pa’le Aji memakai celana kolornya yang basah jatuh di pematang dan kembali meraih cangkulnya.
Langit terlihat cepat cerah dan kembali nampak biru dengan sisa awan yang berarak menyingkir. Pohon kelapa di dusunnya nampak melambai-lambai menanti kepulangannya. Murni dan Pa’le Aji yakin bahwa Bu’le maupun Wiji pasti cemas pada mereka yang tertahan hujan ini. Pa’le sudah membayangkan pasti istrinya telah memasak air panas untuk kopinya lengkap dengan singkong rebus maupun goreng kesukaannya. Dan dalam bayangan Murni, Wiji pasti telah sangat merindukannya untuk kembali ngentot di siang hari. Suara kodok di sawah mengantarkan mereka pulang ke rumahnya.



Leave a Reply

Labels

 
Pasti Nikmat © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here