Namaku Vera. Orang biasa memanggilku dengan Vera saja. Aku lahir di penghujung tahun 1979 pada sebuah kota terkenal dengan julukannya kota kembang (kalian tentunya sudah tau dimana itu kota kembang kan?), Aku telah menikah dengan seorang pria keturunan Jawa bernama Mas Karmo. Kami dikarunai seorang anak laki-laki yang kulahirkan di akhir tahun 1999. Oh.. iya, aku menikah dengan Mas Karmo pada tahun 1998, bulan April.
Kehidupan kami biasa saja, dari segi ekonomi sampai hubungan suami istri. Aku dan suamiku cukup menikmati kehidupan ini. Suamiku yang kalem dan sedikit pendiam adalah seorang pegawai swasta di kotaku ini. Penghasilan sebulannya cukup untuk menghidupi kami bertiga. Namun kami belum begitu puas. Walau bagaimana kami harus merasakan lebih bukan hanya sekedar cukup.
Karena jabatan suamiku sudah tidak mungkin lagi naik di perusahaannya, untuk menambah penghasilan kami, aku meminta ijin kepada Mas Karmo untuk bekerja, mengingat pendidikanku sebagai seorang Sekertaris sama sekali tidak kumanfatkan semenjak aku menikah. Pada dasarnya suamiku itu selalu menuruti keinginanku, maka tanpa banyak bicara dia mengijinkan aku bekerja, walaupun aku sendiri belum tahu bekerja di mana, dan perusahaan mana yang akan menerimaku sebagai seorang Sekertaris, karena aku sudah berkeluarga.
“Bukankah kamu punya teman yang anak seorang Direktur di sini?” kata suamiku di suatu malam setelah kami melakukan hubungan badan.
“Iya.. si Yuna, teman kuliah Vera..!” kataku.
“Coba kamu hubungi teman kamu Yuna itu besok. Siapa tahu dia mau menolong kamu..!” katanya lagi.
“Tapi, benar nih.. Mas.. kamu ijinkan saya bekerja..?”
Mas Karmo mengangguk mesra sambil menatapku kembali.
“Iya.. si Yuna, teman kuliah Vera..!” kataku.
“Coba kamu hubungi teman kamu Yuna itu besok. Siapa tahu dia mau menolong kamu..!” katanya lagi.
“Tapi, benar nih.. Mas.. kamu ijinkan saya bekerja..?”
Mas Karmo mengangguk mesra sambil menatapku kembali.
Sambil tersenyum, perlahan dia dekatkan wajahnya ke wajahku dan mendaratkan bibirnya ke bibirku.
“Terimakasih.. Mas.., mmhh..!” kusambut ciuman mesranya.
Dan beberapa lama kemudian kami pun mulai terangsang lagi, dan melanjutkan persetubuhan suami istri untuk babak yang ketiga. Kenikmatan demi kenikmatan kami raih. Hingga kami lelah dan tanpa sadar kami pun terlelap menuju alam mimpi kami masing-masing.
Perlu kuceritakan di sini bahwa Deni, anak kami tidak bersama kami. Dia kutitipkan ke nenek dan kakeknya yang berada di lain daerah, walaupun masih satu kota. Kedua orangtuaku sangat menyayangi cucunya ini, karena anakku adalah satu-satunya cucu laki-laki mereka.
Siang itu ketika aku terbangun dari mimpiku, aku tidak mendapatkan suamiku tidur di sisiku. Aku menengok jam dinding. Rupanya suamiku sudah berangkat kerja karena jam dinding itu sudah menunjukkan pukul 10.00. Aku teringat akan percakapan kami semalam. Maka sambil mengenakan pakaian tidurku (tanpa BH dan celana dalam), aku beranjak dari tempat tidur berjalan menuju ruang tamu rumahku, mengangkat telpon yang ada di meja dan memutar nomor telpon Yuna, temanku itu.
“Hallo.. ini Yuna..!” kataku membuka pembicaraan saat kudengar telpon yang kuhubungi terangkat.
“Iya.., siapa nih..?” tanya Yuna.
“Ini.. aku Vera..!”
“Oh Vera.., ada apa..?” tanyanya lagi.
“Boleh nggak sekarang aku ke rumahmu, aku kangen sama kamu nih..!” kataku.
“Silakan.., kebetulan aku libur hari ini..!” jawab Yuna.
“Oke deh.., nanti sebelum makan siang aku ke rumahmu. Masak yang enak ya, biar aku bisa makan di sana..!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Sialan luh. Oke deh.., cepetan ke sini.., ditunggu loh..!”
“Oke.., sampai ketemu yaa.. daah..!” kataku sambil menutup gagang telpon itu.
“Iya.., siapa nih..?” tanya Yuna.
“Ini.. aku Vera..!”
“Oh Vera.., ada apa..?” tanyanya lagi.
“Boleh nggak sekarang aku ke rumahmu, aku kangen sama kamu nih..!” kataku.
“Silakan.., kebetulan aku libur hari ini..!” jawab Yuna.
“Oke deh.., nanti sebelum makan siang aku ke rumahmu. Masak yang enak ya, biar aku bisa makan di sana..!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Sialan luh. Oke deh.., cepetan ke sini.., ditunggu loh..!”
“Oke.., sampai ketemu yaa.. daah..!” kataku sambil menutup gagang telpon itu.
Setelah menelepon Yuna, aku berjalan menuju kamar mandi. Di kamar mandi itu aku melepas pakaianku semuanya dan langsung membersihkan tubuhku. Namun sebelumnya aku bermasturbasi sejenak dengan memasukkan jariku ke dalam vaginaku sendiri sambil pikiranku menerawang mengingat kejadian-kejadian yang semalam baru kualami. Membayangkan Kontol suamiku walau tidak begitu besar namun mampu memberikan kepuasan padaku. Dan ini merupakan kebiasaanku.
Walaupun aku telah bersuami, namun aku selalu menutup kenikmatan bersetubuh dengan Mas Karmo dengan bermasturbasi, karena kadang-kadang bermasturbasi lebih nikmat. Singkat cerita, siang itu aku sudah berada di depan rumah Yuna yang besar itu. Dan Yuna menyambutku saat aku mengetuk pintunya.
“Apa khabar Vera..?” begitu katanya sambil mencium pipiku.
“Seperti yang kamu lihat sekarang ini..!” jawabku.
“Seperti yang kamu lihat sekarang ini..!” jawabku.
Setelah berbasa-basi, Yuna membimbingku masuk ke ruangan tengah dan mempersilakan aku untuk duduk.
“Sebentar ya.., kamu santailah dahulu, aku ambil minuman di belakang..” lalu Yuna meninggalkanku.
Aku segera duduk di sofanya yang empuk. Aku memperhatikan ke sekeliling ruangan ini. Bagus sekali rumahnya, beda dengan rumahku. Di setiap sudut ruang terdapat hiasan-hiasan yang indah, dan pasti mahal-mahal. Foto-foto Yuna dan suaminya terpampang di dinding-dinding. Toni yang dahulu katanya sempat menaksir aku, yang kini adalah suami Yuna, terlihat semakin ganteng saja. Dalam pikirku berkata, menyesal juga aku acuh tak acuh terhadapnya dahulu. Coba kalau aku terima cintanya, mungkin aku yang akan menjadi istrinya.
Sambil terus memandangi foto Toni, suaminya, terlintas pula dalam ingatanku betapa pada saat kuliah dulu lelaki keturunan Bali ini mencoba menarik perhatianku (aku, Yuna dan Toni memang satu kampus). Toni memang di bilang mahasiswa kaya. Dia adalah anak pejabat pemerintahan di Jakarta. Pada awalnya aku pun tertarik, namun karena aku tidak suka dengan sifatnya yang sedikit sombong, maka segala perhatiannya padaku tidak kutanggapi. Aku takut jika tidak cocok dengannya, karena aku orangnya sangat sederhana.
Lamunannku dikagetkan oleh munculnya Yuna. Sambil membawa minuman, Yuna berjalan ke arah aku duduk, menaruh dua gelas sirup dan mempersilakanku untuk minum.
“Ayo Ver, diminum dulu..!” katanya.
Aku mengambil sirup itu dan meminumnya. Beberapa teguk aku minum sampai rasa dahaga yang sejak tadi terasa hilang, aku kembali menaruh gelas itu.
“Oh iya, Mas Toni ke mana?” tanyaku.
“Biasa.. Bisnis dia,” kata Yuna sambil menaruh gelasnya. “Sebentar lagi juga pulang. Sudah kutelpon koq dia, katanya dia juga kangen sama kamu..!” ujarnya lagi.
“Biasa.. Bisnis dia,” kata Yuna sambil menaruh gelasnya. “Sebentar lagi juga pulang. Sudah kutelpon koq dia, katanya dia juga kangen sama kamu..!” ujarnya lagi.
Yuna memang sampai sekarang belum mengetahui kalau suaminya dahulu pernah naksir aku. Tapi mungkin juga Toni sudah memberitahukannya.
“Kamu menginap yah.. di sini..!” kata Yuna.
“Akh.. enggak ah, tidak enak khan..!” kataku.
“Loh.. nggak enak gimana, kita kan sahabat. Toni pun kenal kamu. Lagian aku sudah mempersiapkan kamar untukmu, dan aku pun sedang ambil cuti koq, jadi temani aku ya.., oke..!” katanya.
“Kasihan Mas Karmo nanti sendirian..!” kataku.
“Aah.. Mas Karmo khan selalu menurut keinginanmu, bilang saja kamu mau menginap sehari di sini menemani aku. Apa harus aku yang bicara padanya..?”
“Oke deh kalau begitu.., aku pinjam telponmu ya..!” kataku.
“Tuh di sana..!” kata Yuna sambil menujuk ke arah telepon.
“Akh.. enggak ah, tidak enak khan..!” kataku.
“Loh.. nggak enak gimana, kita kan sahabat. Toni pun kenal kamu. Lagian aku sudah mempersiapkan kamar untukmu, dan aku pun sedang ambil cuti koq, jadi temani aku ya.., oke..!” katanya.
“Kasihan Mas Karmo nanti sendirian..!” kataku.
“Aah.. Mas Karmo khan selalu menurut keinginanmu, bilang saja kamu mau menginap sehari di sini menemani aku. Apa harus aku yang bicara padanya..?”
“Oke deh kalau begitu.., aku pinjam telponmu ya..!” kataku.
“Tuh di sana..!” kata Yuna sambil menujuk ke arah telepon.
Aku segera memutar nomor telpon kantor suamiku. Dengan sedikit berbohong, aku minta ijin untuk menginap di rumah Yuna. Dan menganjurkan Mas Karmo untuk tidur di rumah orangtuaku. Seperti biasa Mas Karmo mengijinkan keinginanku. Dan setelah basa-basi dengan suamiku, segera kututup gagang telpon itu.
“Beres..!” kataku sambil kembali duduk di sofa ruang tamu.
“Nah.., gitu dong..! Ayo kutunjukkan kamarmu..!” katanya sambil membimbingku.
“Nah.., gitu dong..! Ayo kutunjukkan kamarmu..!” katanya sambil membimbingku.
Di belakang Yuna aku mengikuti langkahnya. Dari belakang itu juga aku memperhatikan tubuh montoknya. Yuna tidak berubah sejak dahulu. Pantatnya yang terbungkus celana jeans pendek yang ketat melenggak-lenggok. Pinggulnya yang ramping sungguh indah, membuatku iseng mencubit pantat itu.
“Kamu masih montok saja, Yan..!” kataku sambil mencubit pantatnya.
“Aw.., akh.. kamu. Kamu juga masih seksi saja. Bisa-bisa Mas Toni nanti naksir kamu..!” katanya sambil mencubit Payudara ku.Kami tertawa cekikikan sampai kamar yang dipersiapkan untukku sudah di depan mataku.
“Nah ini kamarmu nanti..!” kata Yuna sambil membuka pintu kamar itu.
“Aw.., akh.. kamu. Kamu juga masih seksi saja. Bisa-bisa Mas Toni nanti naksir kamu..!” katanya sambil mencubit Payudara ku.Kami tertawa cekikikan sampai kamar yang dipersiapkan untukku sudah di depan mataku.
“Nah ini kamarmu nanti..!” kata Yuna sambil membuka pintu kamar itu.
Besar sekali kamar itu. Indah dengan hiasan interior yang berseni tinggi. Ranjangnya yang besar dengan seprei yang terbuat dari kain beludru warna biru, menghiasi ruangan ini. Lemari pakaian berukiran ala Bali juga menghiasi kamar, sehingga aku yakin setiap tamu yang menginap di sini akan merasa betah.
Akhirnya di kamar itu sambil merebahkan diri, kami mengobrol apa saja. Dari pengalaman-pengalaman dahulu hingga kejadian kami masing-masing. Kami saling bercerita tentang keluhan-keluhan kami selama ini. Aku pun bercerita panjang mulai dari perkawinanku sampai sedetil-detilnya, bahkan aku bercerita tentang hubungan bercinta antara aku dan suamiku. Kadang kami tertawa, kadang kami serius saling mendengarkan dan bercerita. Hingga pembicaraan serius mulai kucurahkan pada sahabatku ini, bahwa aku ingin bekerja di perusahan bapaknya yang direktur.
“Gampang itu..!” kata Yuna. “Aku tinggal menghubungi Papa nanti di Jakarta. Kamu pasti langsung diberi pekerjaan. Papaku kan tahu kalau kamu adalah satu-satunya sahabatku di dunia ini..” lanjutnya sambil tertawa lepas.
Tentu saja aku senang dengan apa yang dibicarakan oleh Yuna, dan kami pun meneruskan obrolan kami selain obrolan yang serius barusan.Tanpa terasa, di luar sudah gelap. Aku pun minta ijin ke Yuna untuk mandi. Tapi Yuna malah mengajakku mandi bersama. Dan aku tidak menolaknya. Karena aku berpikir toh sama-sama wanita.Sungguh di luar dugaan, di kamar mandi ketika kami sama-sama telanjang bulat, Yuna memberikan sesuatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan.
Sebelum air yang hangat itu membanjiri tubuh kami, Yuna memelukku sambil tidak henti-hentinya memuji keindahan tubuhku. Semula aku risih, namun rasa risih itu hilang oleh perasaan yang lain yang telah menjalar di sekujur tubuh. Sentuhan-sentuhan tangannya ke sekujur tubuhku membuatku nikmat dan tidak kuasa aku menolaknya. Apalagi ketika Yuna menyentuh bagian tubuhku yang sensitif.
Kelembutan tubuh Yuna yang memelukku membuatku merinding begitu rupa. Payudara ku dan buah dadanya saling beradu. Sementara bulu-bulu lebat yang berada di bawah perut Yuna terasa halus menyentuh daerah bawah perutku yang juga ditumbuhi bulu-bulu. Namun bulu-bulu Memek ku tidak selebat miliknya, sehingga terasa sekali kelembutan itu ketika Yuna menggoyangkan pinggulnya.
Karena suasana yang demikian, aku pun menikmati segala apa yang dia lakukan. Kami benar-benar melupakan bahwa kami sama-sama perempuan. Perasaan itu hilang akibat kenikmatan yang terus mengaliri tubuh. Dan pada akhirnya kami saling berpandangan, saling tersenyum, dan mulut kami pun saling berciuman.
Kedua tanganku yang semuala tidak bergerak kini mulai melingkar di tubuhnya. Tanganku menelusuri punggungnya yang halus dari atas sampai ke bawah dan terhenti di bagian buah pantatnya. Buah pantat yang kencang itu secara refleks kuremas-remas. Tangan Yuna pun demikian, dengan lembut dia pun meremas-remas pantatku, membuatku semakin naik dan terbawa arus suasana. Semakin aku mencium bibirnya dengan bernafsu, dibalasnya ciumanku itu dengan bernafsu pula.
Hingga suatu saat ketika Yuna melepas ciuman bibirnya, lalu mulai menciumi leherku dan semakin turun ke bawah, bibirnya kini menemukan Payudara ku yang mengeras. Tanpa berkata-kata sambil sejenak melirik padaku, Yuna menciumi dua bukit payudaraku secar bergantian. Napasku mulai memburu hingga akhirnya aku menjerit kecil ketika bibir itu menghisap puting susuku. Dan sungguh aku menikmati semuanya, karena baru pertama kali ini aku diciumi oleh seorang wanita.
“Akh.., Yunaaaaaa.., oh..!” jerit kecilku sedikit menggema.
“Kenapa Ver.., enak ya..!” katanya di sela-sela menghisap putingku.
“Iya.., oh.., enaaks.. teruus..!” kataku sambil menekan kepalanya.
“Kenapa Ver.., enak ya..!” katanya di sela-sela menghisap putingku.
“Iya.., oh.., enaaks.. teruus..!” kataku sambil menekan kepalanya.
Diberi semangat begitu, Yuna semakin gencar menghisap-hisap putingku, namun tetap lembut dan mesra. Tangan kirinya menahan tubuhku di punggung.
Sementara tangan kanannya turun ke bawah menuju Memek ku. Aku teringat akan suamiku yang sering melakukan hal serupa, namun perbedaannya terasa sekali, Yuna sangat lembut memanjakan tubuhku ini, mungkin karena dia juga wanita. Setelah tangan itu berada di Memek ku, dengan lembut sekali dia membelainya. Jarinya sesekali menggesek kelentitku yang masih tersembunyi, maka aku segera membuka pahaku sedikit agar kelentitku yang terasa mengeras itu leluasa keluar.
Ketika jari itu menyentuh kelentitku yang mengeras, semakin asyik Yuna memainkan kelentitku itu, sehingga aku semakin tidak dapat mengendalikan tubuhku. Aku menggelinjang hebat ketika rasa geli campur nikmat menjamah tubuhku. Pori-poriku sudah mengeluarkan keringat dingin, di dalam liang vaginaku sudah terasa ada cairan hangat yang mengalir perlahan, pertanda rangsangan yang sungguh membuatku menjadi nikmat.
Ketika tanganku menekan bagian atas kepalanya, bibir Yuna yang menghisap kedua putingku secara bergantian segera berhenti. Ada keinginan pada diriku dan Yuna mengerti akan keinginanku itu. Namun sebelumnya, kembali dia pada posisi wajahnya di depan wajahku. Tersungging senyuman yang manis.
“Ingin yang lebih ya..?” kata Yuna.
Sambil tersenyum aku mengangguk pelan. Tubuhku diangkatnya dan aku duduk di ujung bak mandi yang terbuat dari porselen. Setelah aku memposisikan sedemikian rupa, tangan Yuna dengan cekatan membuka kedua pahaku lebar-lebar, maka vaginaku kini terkuak bebas. Dengan posisi berlutut, Yuna mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Aku menunggu perlakuannya dengan jantung yang berdebar kencang.
Napasku turun naik, dadaku terasa panas, begitu pula vaginaku yang terlihat pada cermin yang terletak di depanku sudah mengkilat akibat basah, terasa hangat. Namun rasa hangat itu disejukkan oleh angin yang keluar dari kedua lubang hidung Yuna. Tangan Yuna kembali membelai vaginaku, menguakkan belahannya untuk menyentuh kelentitku yang semakin menegang.
Agak lama Yuna membelai-belai Memek ku itu yang sekaligus mempermainkan kelentitku. Sementara mulutnya menciumi pusar dan sekitarnya. Tentu saja aku menjadi kegelian dan sedikit tertawa. Namun Yuna terus saja melakukan itu. Hingga pada suatu saat, “Eiist.. aakh.. aawh.. Yhunaaaaa.. akh.. mmhh.. ssh..!” begitu suara yang keluar dari mulutku tanpa disadari, ketika mulutnya semakin turun dan mencium vaginaku.
Kedua tangan Yuna memegangi pinggul dan pantatku menahan gerakanku yang menggelinjang nikmat.
Kedua tangan Yuna memegangi pinggul dan pantatku menahan gerakanku yang menggelinjang nikmat.
Kini ujung lidahnya yang menyentuh kelentitku. Betapa pintar dia mempermainkan ujung lidah itu pada daging kecilku, sampai aku kembali tidak sadar berteriak ketika cairan di dalam vaginaku mengalir keluar.
“Oohh.. Yuna.. ennaakss.. sekaalii..!” begitu teriakku.
Aku mulai menggoyangkan pinggulku, memancing nikmat yang lebih. Yuna masih pada posisinya, hanya sekarang yang dijilati bukan hanya kelentitku tapi lubang vaginaku yang panas itu. Tubuhku bergetar begitu hebat. Gerakan tubuhku mulai tidak karuan. Hingga beberapa menit kemudian, ketika terasa orgasmeku mulai memuncak, tanganku memegang bagian belakang kepalanya dan mendorongnya. Karuan saja wajah Yuna semakin terpendam di selangkanganku.
“Hissapp.. Yuna..! Ooh.., aku.. akuu.. mau.. keluaar..!” jeritku.
Yuna berhenti menjilat kelentitku, kini dia mencium dan menghisap kuat lubang Memek ku.
Maka.., “YUNAAAAAAAA.., aku.. keluaar..! Oh.., aku.. keluar… ssh..!” bersamaan dengan teriakku itu, maka aku pun mencapai orgasme.
Yuna berhenti menjilat kelentitku, kini dia mencium dan menghisap kuat lubang Memek ku.
Maka.., “YUNAAAAAAAA.., aku.. keluaar..! Oh.., aku.. keluar… ssh..!” bersamaan dengan teriakku itu, maka aku pun mencapai orgasme.
Sekujur jiwaku seakan melayang entah kelangit keberapa. Wajahku menengadah dengan mata merem melek merasakan bermilayaran sel-sel ditubuhku bereaksi merasakan nikmat yang sekian detik mendera tubuh ini, hingga akhirnya aku melemas dan kembali pada posisi duduk. Maka Yuna pun melepas hisapannya pada vaginaku.
Dia berdiri, mendekatkan wajahnya ke hadapan wajahku, dan kembali dia mencium bibirku yang terbuka. Napasku yang tersengal-sengal disumbat oleh mulut Yuna yang menciumku. Kubalas ciuman mesranya itu setelah tubuhku mulai tenang.
“Terimakasih Yuna.., enak sekali barusan..!” kataku sambil tersenyum. Yuna pun membalas senyumanku. Dia membantuku turun dari atas bak mandi itu.
“Kamu mau nggak dikeluarin..?” kataku lagi.
“Nanti sajalah.., lagian udah gatel nih badanku. Sekarang mending kita mandi..!” jawabnya sambil menyalakan shower.
Akhirnya kusetujui usul itu, sebab badanku masih lemas akibat serangan birahi tadi. Dan rupanya Yuna tahu kalau aku kurang bertenaga, maka aku pun dimandikannya, disabuni, diperlakukan layaknya seorang anak kecil. Aku hanya tertawa kecil. Iseng-iseng kami pun saling menyentuh bagian tubuh kami masing-masing. Begitupula sebaliknya, ketika giliran Yuna yang mandi, aku lah yang menyabuni tubuhnya.
Setelah selesai mandi, kami pun keluar dari kamar mandi itu secara bersamaan. Sambil berpelukan, pundak kami hanya memakai handuk yang menutup tubuh kami dari dada sampai pangkal paha, dan sama sekali tidak mengenakan dalaman. Aku berjalan menuju kamarku sedang Yuna menuju kamarnya sendiri. Di dalam kamar aku tidak langsung mengenakan baju. Aku masih membayangkan kejadian barusan. Seolah-olah rasa nikmat tadi masih mengikutiku.
Di depan cermin, kubuka kain handuk yang menutupi tubuhku. Handuk itu jatuh terjuntai ke lantai, dan aku mulai memperhatikan tubuh telanjangku sendiri. Ada kebanggaan dalam hatiku. Setelah tadi melihat tubuh telanjang Yuna yang indah, ternyata tubuhku lebih indah. Yuna memang seksi, hanya dia terlalu ramping sehingga sepintas tubuhnya itu terlihat kurus. Sedangkan tubuhku agak montok namun tidak terkesan gemuk.
Entah keturunan atau tidak, memang demikianlah keadaan tubuhku. Kedua payudaraku berukuran 34B dengan puting yang mencuat ke atas, padahal aku pernah menyusui anakku. Sedangkan payudara Yuna berukuran 32 tapi juga dengan puting yang mencuat ke atas juga. Kuputar tubuhku setengah putaran. Kuperhatikan belahan pantatku. Bukit pantatku masih kencang, namun sudah agak turun, karena aku pernah melahirkan. Berbeda dengan pantat milik Yuna yang masih seperti pantat gadis perawan, seperti pantat bebek.
Kalau kuperhatikan dari pinggir tubuhku, nampak perutku yang ramping. Vaginaku nampak menonjol keluar. Bulu-bulu Memek ku tidak lebat, walaupun pernah kucukur pada saat aku melahirkan. Padahal kedua tangan dan kedua kakiku tumbuh bulu-bulu tipis, tapi pertumbuhan bulu Memek ku rupanya sudah maksimal. Lain halnya dengan Yuna, walaupun perutnya lebih ramping dibanding aku, namun kemaluannya tidak menonjol alias rata. Dan daerah itu ditumbuhi bulu-bulu yang lebat namun tertata rapi.
Setelah puas memperhatikan tubuhku sendiri (sambil membandingkan dengan tubuh Yuna), aku pun membuka tasku dan mengambil celana dalam dan Bra-ku. Kemudian kukenakan kedua pakaian rahasiaku itu setelah sekujur tubuhku kulumuri bedak. Namun aku agak sedikit kaget dengan teriakan Yuna dari kamarnya yang tidak begitu jauh dari kamar ini.
“Vera..! Ini baju tidurmu..!” begitu teriaknya.
Maka aku pun mengambil handuk yang berada di lantai. Sambil berjalan kukenakan handuk itu menutupi tubuhku seperti tadi, lalu keluar menuju kamarnya yang hanya beberapa langkah. Pintu kamarnya ternyata tidak dikunci. Karena mungkin Yuna tahu kedatanganku, maka dia mempersilakan aku masuk.
“Masuk sini Ver..!” kataya dari dalam kamar.
Kudorong daun pintu kamarnya. Aku melihat di dalam kamar itu tubuh Yuna yang telanjang merebah di atas kasur. Tersungging senyuman di bibirnya. Karena aku sudah melangkah masuk, maka kuhampiri tubuh telanjang itu.
“Kamu belum pake baju, Yun..?” kataku sambil duduk di tepi ranjang.
“Akh.., gampang.. tinggal pake itu, tuh..!” kata Yuna sambil tangannya menunjuk tumpukan gaun tidur yang berada di ujung ranjang.
Lalu dia berkata lagi, “Kamu sudah pake daleman, ya..?”
Aku mengangguk, “Iya..!” Kuperhatikan dadanya turun naik. Napasnya terdengar memburu. Apakah dia sedang bernafsu sekarang.., entahlah.
Lalu tangan Yuna mencoba meraihku. Sejenak dia membelai tubuhku yang terbungkus handuk itu sambil berkata, “Kamu mengairahkan sekali memakai ini..!”
“Akh.., masa sih..!” kataku sambil tersenyum dan sedikit menggeser tubuhku lebih mendekat ke tubuh Yuna.
“Benar.., kalo nggak percaya.., emm.. kalo nggak percaya..!” kata Yuna sedikit menahan kata-katanya.
“Kalo nggak percaya apa..?” tanyaku.
“Kalo nggak percaya..!” sejenak matanya melirik ke arah belakangku.
“Kalo nggak percaya tanya saja sama orang di belakangmu.. hi.. hi..!” katanya lagi.
Segera aku memalingkan wajahku ke arah belakangku. Dan.., (hampir saja aku teriak kalau mulutku tidak buru-buru kututup oleh tanganku), dengan jelas sekali di belakangku berdiri tubuh lelaki dengan hanya mengenakan celana dalam berwarna putih yang tidak lain adalah Mas Toni suami Yuna itu. Dengan refleks karena kaget aku langsung berdiri dan bermaksud lari dari ruangan ini. Namun tangan Yuna lebih cepat menangkap tanganku lalu menarikku sehingga aku pun terjatuh dengan posisi duduk lagi di ranjang yang empuk itu.
“Mau kemana.. Vera.., udah di sini temani aku..!” kata Yuna setengah berbisik.
Aku tidak sempat berkata-kata ketika Mas Toni mulai bergerak berjalan menuju aku. Dadaku mulai berdebar-debar. Ada perasaan malu di dalam hatiku.
“Halo.., Vera. Lama tidak bertemu ya..” suara Mas Toni menggema di ruangan itu. Tangannya mendarat di pundakku, dan lama bertengger di situ.
Aku yang gelagapan tentu saja semakin gelagapan. Namun ketika tangan Yuna dilepaskan dari cengkramannya, pada saat itu tidak ada keinginanku untuk menghindar. Tubuhku terasa kaku, sama sekali aku tidak dapat bergerak. Lidahku pun terasa kelu, namun beberapa saat aku memaksa bibirku berkata-kata.
“Apa-apaan ini..?” tanyaku parau sambil melihat ke arah Yuna.
Sementara tangan yang tadi bertengger di bahuku mulai bergerak membelai-belai. Serr.., tubuhku mulai merinding. Terasa bulu-bulu halus di tangan dan kaki berdiri tegak.
Rupanya Sentuhan tangan Mas Toni mampu membangkitkan birahiku kembali. Apalagi ketika terasa di bahuku yang sebelah kiri juga didarati oleh tangan Mas Toni yang satunya lagi. Perasaan malu yang tadi segera sirna. Tubuhku semakin merinding. Mataku tanpa sadar terpejam menikmati dalam-dalam sentuhan tangan Mas Toni di bahuku itu.
Pijatan-pijatan kecil di bahuku terasa nyaman dan enak sekali. Aku begitu menikmati apa yang terasa. Hingga beberapa saat kemudian tubuhku melemas. Kepalaku mulai tertahan oleh perut Mas Toni yang masih berada di belakangku. Sejenak aku membuka mataku, nampak Yuna membelai vaginanya sendiri dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya meremas pelan kedua payudaranya secara bergantian. Tersungging senyuman di bibirnya.
“Nikmati Vera..! Nikmati apa yang kamu sekarang rasakan..!” suara Yuna masih sedikit membisik.
Aku masih terbuai oleh sentuhan kedua tangan Mas Toni yang mulai mendarat di daerah atas payudarara yang tidak tertutup. Mataku masih terpejam.
“Ini.. kan yang kamu inginkan. Kupinjamkan suamiku..!” kata Yuna lagi.
Mataku terbuka dan kembali memperhatikan Yuna yang masih dengan posisinya.
“Ayo Mas..! Nikmati Vera yang pernah kamu taksir dulu..!” kata Yuna lagi.
“Tentu saja Sayang.., asal.. kamu ijinkan..!” kata suara berat Mas Toni.
Tubuhnya dibungkukkan. Kemudian wajahnya ditempelkan di bagian atas kepalaku. Terasa bibirnya mencium mesra daerah itu. Kembali aku memejamkan mata. Bulu-buluku semakin keras berdiri. Sentuhan lembut tangan Mas Toni benar-benar nikmat. Sangat pintar sekali sentuhan itu memancing gairahku untuk bangkit. Apalagi ketika tangan Mas Toni sebelah kanan berusaha membuka kain handuk yang masih menutupi tubuhku itu.
“Oh.., Mas.., Maas.. jangaan.. Mas..!” aku hanya dapat berkata begitu tanpa kuasa menahan tindakan Mas Toni yang telah berhasil membuka handuk dan membuangnya jauh-jauh.
Tinggallah tubuh setengah bugilku. Kini gairahku sudah memuncak dan aku mulai lupa dengan keadaanku. Aku sudah terbius suasana. Mas Toni mulai berlutut, namun masih pada posisi di belakangku. Kembali dia membelai seluruh tubuhku. Dari punggungku, lalu ke perut, naik ke atas, leherku pun kena giliran disentuhnya, dan aku mendesah nikmat ketika leherku mulai dicium mesra oleh Mas Toni. Sementara desahan-desahan kecil terdengar dari mulut Yuna.
Aku melirik sejenak ke arah Yuna, rupanya dia sedang masturbasi. Lalu aku memejamkan mata lagi, kepalaku kutengadahkan memberikan ruangan pada leherku untuk diciumi Mas Toni. Persaanku sudah tidak malu-malu lagi, aku sudah kepalang basah. Aku lupa bahwa aku telah bersuami, dan aku benar-benar akan merasakan apa yang akan kurasakan nanti, dengan lelaki yang bukan suamiku.
“Buka ya.. BH-nya, Vera..!” kata Mas Toni sambil melepas kancing tali BH-ku dari punggung.
Beberapa detik BH itu terlepas, maka terasa bebas kedua payudaraku yang sejak tadi tertekan karena mengeras. Suara Yuna semakin keras, rupanya dia mencapai orgasmenya. Kembali aku melirik Yuna yang membenamkan jari manis dan jari telunjuknya ke dalam vaginanya sendiri. Nampak dia mengejang dengan mengangkat pinggulnya.
“Akh.., nikmaats.. ooh.. nikmaatts.. sekalii..!” begitu kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Dan tidak lama kemudian dia terkulai lemas di ranjang itu. Sementara Mas Toni sibuk dengan kegiatannya.
Kini kedua payudaraku sudah diremasi dengan mesra oleh kedua telapak tangannya dari belakang. Sambil terus bibirnya menjilati inci demi inci kulit leherku seluruhnya. Sedang enak-enaknya aku, tiba-tiba ada yang menarik celana dalamku. Aku membuka mataku, rupanya Yuna berusaha untuk melepas celana dalamku itu. Maka kuangkat pantatku sejenak memudahkan celana dalamku dilepas oleh Yuna. Maka setelah lepas, celana dalam itu juga dibuang jauh-jauh oleh Yuna.
Aku menggeser posisi dudukku menuju ke bagian tengah ranjang itu. Mas Toni mengikuti gerakanku masih dari belakang, sekarang dia tidak berlutut, namun duduk tepat di belakang tubuhku. Kedua kakinya diselonjorkan, maka pantatku kini berada di antara selangkangan milik Mas Toni. Terasa oleh pantatku ada tonjolan keras di selangkangan. Rupanya Kontol Mas Toni sudah tegang maksimal.
Lalu Yuna membuka lebar-lebar pahaku, sehingga kakiku berada di atas paha Mas Toni. Lalu dengan posisi tidur telungkup, Yuna mendekatkan wajahnya ke selangkanganku, dan apa yang terjadi..
“Awwh.. ooh.. eeisth.. aakh..!” aku menjerit nikmat ketika kembali kurasakan lidahnya menyapu-nyapu belahan vaginaku, terasa kelentitku semakin menegang, dan aku tidak dapat mengendalikan diri akibat nikmat, geli, enak, dan lain sebagainya menyatu di tubuhku.
Kembali kepalaku menengadah sambil mulutku terbuka. Maka Mas Toni tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia tahu maksudku. Dari belakang, bibirnya langsung melumat bibirku yang terbuka itu dengan nafsunya. Maka kubalas ciuman itu dengan nafsu pula. Dia menyedot, aku menyedot pula. Terjadilah pertukaran air liur Mas Toni dengan air liurku. Terciuma aroma rokok pada mulutnya, namun aroma itu tidak mengganggu kenikmatan ini.
Kedua tangan Mas Toni semakin keras meremas kedua payudaraku, namun menimbulkan nikmat yang teramat, sementara di bawah Yuna semakin mengasyikkan. Dia terus menjilat dan mencium vaginaku yang telah banjir. Banjir oleh cairan pelicin vaginaku dan air liur Yuna.
“Mmmhh.. akh.. mmhh..!” bibirku masih dilumati oleh bibir Mas Toni.
Tubuhku semakin panas dan mulai memberikan tanda-tanda bahwa aku akan mencapai puncak kenikmatan yang kutuju. Pada akhirnya, ketika remasan pada payudaraku itu semakin keras, dan Yuna menjilat, mencium dan menghisap vaginaku semakin liar, tubuhku menegang kaku, keringat dingin bercucuran dan mereka tahu bahwa aku sedang menikmati orgasmeku. Aku mengangkat pinggulku, otomatis ciuman Yuna terlepas. Semakin orgasmeku terasa ketika jari telujuk dan jari manis Yuna dimasukkan ke liang vaginaku, kemudian dicabutnya setengah, lalu dimasukkan lagi.
Perlakuan Yuna itu berulang-ulang, yaitu mengeluar-masukkan kedua jarinya ke dalam lubang vaginaku. Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata betapa nikmat dan enak pada saat itu.
“Aakh.. aawhh.. nikmaatss.. terus.. Yuna.. ooh.. yang cepaat.. akh..!” teriakku.
Tubuh Mas Toni menahan tubuhku yang mengejang itu. Jarinya memilin-milin puting susuku. Bibirnya mengulum telingaku sambil membisikkan sesuatu yang membuatku semakin melayang. Bisikan-bisikan yang memujiku itu tidak pernah kudengar dari Mas Karmo, suamiku.
“Ayo cantik..! Nikmatilah orgasmemu.., jangan kamu tahan, keluarkan semuanya Sayang..! Nikmatilah.., nikmatilah..! Oh.., kamu cantik sekali jika orgasme..!” begitu bisikan yang keluar dari mulut Mas Toni sambil terus mengulum telingaku.
“Aakh.. Maass, aduh.. Yuna.., nikmaats.. oh.. enaaks.. sekali..!” teriakku.
Akhirnya tubuh kejangku mulai mengendur, diikuti dengan turunnya kenikmatan orgasmeku itu. Perlahan sekali tubuhku turun dan akhirnya terkulai lemas di pangkuan Mas Toni. Lalu tubuh Yuna mendekapku. Dia berbisik padaku, “Ini.. belum seberapanya Sayaang.., nanti akan kamu rasakan punya suamiku..!” sambil berkata demikian dia mencium keningku. Mas Toni beranjak dari duduknya dan berjalan entah ke arah mana, karena pada saat itu mataku masih terpenjam seakan enggan terbuka.
Entah berapa lama aku terlelap. Ketika kusadar, kubuka mataku perlahan dan mencari-cari Yuna dan Mas Toni sejenak. Mereka tidak ada di kamar ini, dan rupanya mereka membiarkanku tertidur sendiri. Aku menengok jam dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Segera aku bangkit dari posisi tidurku, lalu berjalan menuju pintu kamar. Telingaku mendengar alunan suara musik klasik yang berasal dari ruangan tamu. Dan ketika kubuka pintu kamar itu yang kebetulan bersebelahan dengan ruang tamu, mataku menemukan suatu adegan dimana Yuna dan suaminya sedang melakukan ngentot.
Yuna dengan posisi menelentang di sofa sedang ditindih oleh Mas Toni dari atas. Terlihat tubuh Mas Toni sedang naik turun. Segera mataku kutujukan pada selangkangan mereka. Jelas terlihat Kontol Mas Toni yang berkilat sedang keluar masuk di memek Yuna. Terdengar pula erangan-erangan yang keluar dari mulut Yuna yang sedang menikmati hujaman Kontol itu di vaginanya, membuat tubuhku perlahan memanas. Segera saja kuhampiri mereka dan duduk tepat di depan tubuh mereka.
Di sela-sela kenikmatan, Yuna menatapku dan tersenyum. Rupanya Mas Toni memperhatikan istrinya dan sejenak dia menghentikan gerakannya dan menengok ke belakang, ke arahku.
“Akh.. Mas.., jangan berhentii doong..! Oh..!” kata Yuna.
Dan Mas Toni kembali berkonsentrasi lagi dengan kegiatannya. Kembali terdengar desahan-desahan nikmat Yuna yang membahana ke seluruh ruangan tamu itu. Aku kembali gelagapan, kembali resah dan tubuhku semakin panas. Dengan refleks tanganku membelai vaginaku sendiri.
“Oh.. Veraa.., nikmat sekaallii.. loh..! Akuu.. ooh.. mmh..!” kata Yuna kepadaku.
Aku melihat wajah nikmat Yuna yang begitu cantik. Kepalannya kadang mendongak ke atas, matanya terpejam-pejam. Sesekali dia gigit bibir bawahnya. Kedua tangannya melingkar pada pantat suaminya, dan menarik-narik pantat itu dengan keras sekali. Aku melihat Kontol Mas Toni yang besar itu semakin amblas di vagina Yuna. Samakin mengkilat saja Kontol itu.
“Oh beib.., aku hampiir sampaaii..! Teruus.. beib.. terus..! Lebih extrim lagi.., ooalaaaaaaaahhhhh.. akh..!” Yuna meracau dan semakin liar.
Yuna mengangkat tinggi-tinggi pinggulnya, Mas Toni terus dengan gerakannya menaik-turunkan tubuhnya dalam kondisi push-up.
“Beiiibbbbbbhh.., Yunaaaaaa.. yun… yunaaaaa…. sampeeeeee..! Aakh..tidaaaaaaaakk..nikmaaaattttt…. oooohhh.., mmh..!” kata Yuna lagi dengan tubuh yang mengejang liar dengan mata terpejam dan kadang membelalak seperti orang yang hendak sekarat.
Rupanya Yuna mencapai orgasmenya. Tangannya yang tadi melingkar di pantat suaminya, kini berpindah melingkar di punggung. Mas Toni berhenti bergerak dan membiarkan Kontol itu menancap dalam di lubang kemaluan Yuna.
“Owhh.. banyak sekali Sayang.. keluarnya. Hangat sekali memekmu..!” kata Mas Toni sambil menciumi wajah istrinya.
Dapat kubayangkan perasaan Yuna pada saat itu. Betapa nikmatnya dia. Dan aku pun belingsatan dengan merubah-rubah posisi dudukku di depan mereka. Beberapa saat kemudian, Yuna mulai melemas dari kejangnya dan merubah posisinya. Segera dia turun dari sofa ketika Mas Toni mencabut Kontol dari lubang kenikmatan itu. Aku melihat dengan jelas betapa besar dan panjang Kontol Mas Toni. Dan ini baru pertama kali aku melihatnya, karena waktu tadi di dalam kamar, Mas Toni masih menutupi Kontolnya dengan celana dalam.
Dengan segera Yuna menungging. Lalu segera pula Mas Toni berlutut di depan pantat itu.
“Giliranmu.. ku keluarkan beib! Ayoo..!” kata Yuna.
Tangan Mas Toni menggenggam Kontol itu dan mengarahkan langsung ke lubang vagina Yuna. Segera dia menekan pantatnya dan melesaklah Kontol itu ke dalam vagina istrinya, diikuti dengan lenguhan Yuna yang sedikit tertahan.
“Owwh.. Maas.. aakh..!”
“Aduuh.. Yuna.., jepit Sayangh..!” kata Mas Toni.
Lalu kaki Yuna dirapatkan sedemikian rupa. Dan segera pantat Mas Toni mulai mundur dan maju.Ufh.., pemandangan yang begitu indah yang kulihat sekarang. Baru kali ini aku menyaksikan sepasang manusia bersetubuh tepat di depanku secara langsung. Semakin mereka mempercepat tempo gerakannya, semakin aku terangsang begitu rupa. Tanganku yang tadi hanya membelai-belai vaginaku, kini mulai menyentuh kelentitku.
Kenikmatan mulai mengaliri tubuhku dan semakin aku tidak tahan, sehingga aku memasukkan jariku ke dalam vaginaku sendiri. Aku sendiri sangat menikmati masturbasiku tanpa lepas pandanganku pada mereka. Belum lagi telingaku jelas mendengar desahan dan rintihan Yuna, aku dapat membayangkan apa yang dirasakan Yuna dan aku sangat ingin sekali merasakannya, merasakan vaginaku pun dimasukkan oleh Kontol Mas Toni.
Beberapa saat kemudian Mas Toni mulai melenguh keras. Kuhentikan kegiatanku dan terus memperhatikan mereka.
“Aakhh.. Yunai.. nikmaats.. aakh.. aku keluaar..!” teriak Mas Toni membahana.
“Oh.. Maas.. akuu.. juggaa.. akh..!”
Kedua tubuh itu bersamaan mengejang. Mereka mencapai orgasmenya secara bersama-sama. Kontol Mas Toni masih menancap di vagina Yuna sampai akhirnya mereka melemas, dan dari belakang tubuh Yuna, Mas Toni memeluknya sambil meremas kedua payudara Yuna. Mas Toni memasukkan semua spermanya ke dalam vagina Yuna.
Lama sekali aku melihat mereka tidak bergerak. Rupanya mereka sangat kelelahan. Di sofa itu mereka tertidur bertumpukan. Tubuh Yuna berada di bawah tubuh Mas Toni yang menindihnya. Mata mereka terpejam seolah tidak menghiraukan aku yang duduk terpaku di depannya. Hingga aku pun mulai bangkit dari dudukku dan beranjak pergi menuju kamarku. Sesampai di kamar aku baru sadar kalau aku masih telanjang bulat. Maka aku pun balik lagi menuju kamar Yuna di mana celana dalam dan BH yang akan kupakai berada di sana.
Selagi aku berjalan melewati ruang tamu itu, aku melihat mereka masih terkulai di sofa itu. Tanpa menghiraukan mereka, aku terus berjalan memasuki kamar Yuna dan memungut celana dalam dan BH yang ada di lantai. Setelah kukenakan semuanya, kembali aku berjalan menuju kamarku dan sempat sekali lagi aku menengok mereka di sofa itu pada saat aku melewati ruang tamu.
Sesampai di kamar, entah kenapa rasa lelah dan kantukku hilang. Aku menjadi semakin resah membayangkan kejadian yang baru kualami. Pertama ketika aku dimasturbasikan oleh suami istri itu. Dan yang kedua aku terus membayangkan kejadian di mana mereka melakukan persetubuhan yang hebat itu. Keinginanku untuk merasakan Kontol Mas Toni sangat besar. Aku mengharapkan sekali Mas Toni sekarang menghampiri dan menikmatiku. Namun itu mungkin tidak terjadi, karena aku melihat mereka sudah lelah sekali.
Entah sudah berapa kali mereka bersetubuh pada saat aku terlelap tadi. Aku semakin tidak dapat menahan gejolak birahiku sendiri hingga aku merebahkan diri di kasur empuk. Dengan posisi telungkup, aku mulai memejamkan mata dengan maksud agar aku terlelap. Namun semua itu sia-sia. Karena kembali kejadian-kejadian barusan terus membayangiku. Secara cepat aku teringat bahwa tadi ketika mereka bersetubuh, aku melakukan masturbasi sendiri dan itu tidak selesai. Maka tanganku segera kuselipkan di selangkanganku. Aku membelai kembali vaginaku yang terasa panas itu.
Dan ketika tanganku masuk ke dalam celanaku, aku mulai menyentuh klitorisku. Kembali aku nikmat. Aku tidak kuasa membendung perasaan itu, dan jariku mulai menemukan lubang Memek ku yang berlendir itu. Dengan berusaha membayangkan Mas Toni menyetubuhiku, kumasukkan jari tengahku ke dalam lubang itu dalam-dalam. Kelembutan di dalam vaginaku dan gesekan di dinding-dindingnya membuatku mendesah kecil.
Sambil mengeluar-masukkan jari tengahku, aku membayangkan betapa besar dan panjangnya Kontol Mas Toni. Beda sekali dengan Kontol Mas Karmo yang kumiliki. Kemaluan Mas Toni panjang dan besarnya normal-normal saja. Sedangkan milik Mas Toni, sudah panjang dan besar, dihiasi oleh urat-uratnya yang menonjol di lingkaran batang kemaluannya. Itu semua kulihat tadi dan kini terbayang di dalam benakku.
Beberapa menit kemudian, ketika ada sesuatu yang lain di dalam vaginaku, semakin kupercepat jari ini kukeluar-masukkan. Sambil terus membayangi Mas Toni yang menyetubuhiku, dan aku sama sekali tidak membayangkan suamiku sendiri. Setiap bayangan suamiku muncul, cepat-cepat kubuang bayangan itu, hingga kembali Mas Toni lah yang kubayangkan.
Tanpa sadar, ketika aku akan mencapai orgasme, aku membalikan badan dan aku memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang vaginaku. Dalam keadaan telentang aku mengangkangkan selebar mungkin pahaku. Kini dua jariku yang keluar masuk di lubang vaginaku. Maka kenikmatan itu berlanjut hebat sehingga tanpa sadar aku memanggil-manggil pelan nama Mas Toni.
“Akh.. sshh.. Mass.. Tonii.. Okh.. Mass.. Mas.. Toni.. aakkh..!” itulah yang keluar dari mulutku.
Seer.. aku merasa kedua jariku hangat sekali dan semakin licin. Aku mengangkat ke atas pinggulku sambil tidak melepas kedua jariku menancap di lubang vaginaku. Beberapa lama tubuhku merinding, mengejang, dan nikmat tidak terkira. Sampai pada akhirnya aku melemas dan pinggulku turun secara cepat ketika kenikmatan itu perlahan berkurang.
Aku mencabut jari jemariku dan cairan yang menempel di jari-jari itu segera kujilati. Asin campur gurih yang kurasakan di lidahku. Dengat mata yang terpejam-pejam kembali aku membayangkan Kontol Mas Toni yang sedang kuciumi, kuhisap, dan kurasakan. Cairan yang asin dan gurih itu kubayangkan sperma Mas Toni. Ohh.., nikmatnya semua ini. Dan setelah aku puas, barulah kuhentikan hayalan-hayalanku itu. Kutarik selimut yang ada di sampingku dan menutupi sekujur tubuhku yang mulai mendingin. Aku tersenyum sejenak mengingat hal yang barusan, gila.. aku masturbasi dengan membayangkan suami orang lain.
Pagi harinya, ketika aku terjaga dari tidurku dan membuka mataku, aku melihat di balik jendela kamar sudah terang. Jam berapa sekarang, pikirku. Aku menengok jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku kaget dan bangkit dari posisi tidurku. Ufh.., lemas sekali badan ini rasanya. Kukenakan celana dalamku. Karena udara sedikit dingin, kubalut tubuhku dengan selimut dan mulai berdiri. Ketika berdiri, sedikit kugerak-gerakan tubuhku dengan maksud agar rasa lemas itu segera hilang. Lalu dengan gontai aku berjalan menuju pintu kamar dan membuka pintu yang tidak terkunci.
Karena aku ingin pipis, segera aku berjalan menuju kamar mandi, sesampainya di kamar mandi segera kuturunkan celana dalamku dan berjongkok. Keluarlah air hangat urine-ku dari liang vagina. Sangat banyak sekali air kencingku, sampai-sampai aku pegal berjongkok. Beberapa saat kemudian, ketika air kencingku habis, segera kubersihkan vaginaku dan kembali aku mengenakan celana dalamku, lalu kembali pula aku melingkari kain selimut itu, karena hanya kain ini yang dapat kupakai untuk menahan rasa dingin, baju tidur yang akan dipinjamkan oleh Yuna masih berada di kamarnya.
Aku keluar dari kamar mandi itu, lalu berjalan menuju ruangan dapur yang berada tidak jauh dari kamar mandi itu, karena tenggorokanku terasa haus sekali. Di dapur itu aku mengambil segelas air dan meminumnya. Setelah minum aku berjalan lagi menuju kamarku. Namun ketika sampai di pintu kamar, sejenak pandangan mataku menuju ke arah ruang tamu. Di sana terdapat Mas Toni sedang duduk di sofa sambil menghisap sebatang rokok. Matanya memandangku tajam, namun bibirnya memperlihatkan senyumnya yang manis. Dengan berbalut kain selimut di tubuhku, aku menghampiri Mas Toni yang memperhatikan aku. Lalu aku duduk di sofa yang terletak di depannya. Aku membalas tatapan Mas Toni itu dengan menyunggingkan senyumanku.
“Yuna mana..?” tanyaku padanya membuka pembicaraan.
“Sedang ke warung sebentar, katanya sih mau beli makanan..!” jawabnya.
“Mas Toni tidak kerja hari ini..?”
“Tidak akh.., malas sekali hari ini. Lagian khan aku tak mau kehilangan kesempatan..!” sambil berkata demikian dengan posisi berlutut dia menghampiriku.
Setelah tepat di depanku, segera tangannya melepas kain selimut yang membungkusi tubuhku. Lalu dengan cepat sekali dia mulai meraba-raba tubuhku dari ujung kaki sampai ujung pahaku. Diperlakukan demikian tentu saja aku geli. Segera bulu-bulu tubuhku berdiri.
“Akh.. Mas..! Gellii..!” kataku. Mas Toni tidak menghiraukan kata-kataku itu.
Kini dia mulai mendaratkan bibirnya ke seluruh kulit kakiku dari bawah sampai ke atas. Perlakuannya itu berulang-ulang, sehingga menciptakan rasa geli campur nikmat yang membuatku terangsang. Lama sekali perlakuan itu dilakukan oleh Mas Toni, dan aku pun semakin terangsang.
“Akh.. Mas..! Oh.., mmh..!” aku memegang bagian belakang kepala Mas Toni dan menariknya ketika mulut lelaki itu mencium vaginaku.
Semakin aku mengangkangkan pahaku, dengan mesranya lidah Mas Toni mulai menjilat Memek ku itu. Tubuhku mulai bergerak-gerak tidak beraturan, merasakan nikmat yang tiada tara di sekujur tubuhku. Aku membuang kain selimut yang masih menempel di tubuhku ke lantai, sementara Mas Toni masih dengan kegiatannya, yaitu menciumi dan menjilati vaginaku. Aku menengadah menahan nikmat, kedua kakiku naik di tumpangkan di kedua bahunya, namun tangan Mas Toni menurunkannya dan berusaha membuka lebar-lebar kedua pahaku itu. Karuan saja selangkanganku semakin terkuak lebar dan belahan vaginaku semakin membelah.
“Akh.. Mas..! Shh.. nikmaats..! Terus Mass..!” rintihku.
Kedua tangan Mas Toni ke atas untuk meremas payudaraku yang terasa sudah mengeras, remasan itu membuatku semakin nikmat saja, dan itu membuat tubuhku semakin menggelinjang. Segera aku menambah kenikmatanku dengan menguakkan belahan vaginaku, jariku menyentuh kelentitku sendiri. Oh.., betapa nikmat yang kurasakan, liang Memek ku sedang disodok oleh ujung lidah Mas Toni, kedua payudaraku diremas-remas, dan kelentitku kusentuh dan kupermainkan. Sehingga beberapa detik kemudian terasa tubuhku mengejang hebat disertai perasaan nikmat teramat sangat dikarenakan aku mulai mendekati orgasmeku.
“Oh.. Mas..! Aku.. aku.. akh.., nikmaats.. mhh..!” bersamaan dengan itu aku mencapai klimaksku.
Tubuhku melayang entah kemana, dan sungguh aku sangat menikmatinya. Apalagi ketika Mas Toni menyedot keras lubang Memek ku itu. Tahu bahwa aku sudah mencapai klimaks, Mas Toni menghentikan kegiatannya dan segera memelukku, mecium bibirku.
“Kamu sungguh cantik, Vera.., aku cinta padamu..!” sambil berkata demikian, dengan pinggulnya dia membuka kembali pahaku, dan terasa batang kemaluannya menyentuh dinding kemaluannku.
Segera tanganku menggenggam kemaluan itu dan mengarahkan langsung tepat ke liang vaginaku.
“Lakukan Mas..! Lakukan sekarang..! Berikan cintamu padaku sekarang..!” kataku sambil menerima setiap ciuman di bibirku.
Mas Toni dengan perlahan memajukan pinggulnya, maka terasa di liang vaginaku ada yang melesak masuk ke dalamnya. Gesekan itu membuatku kembali menengadah, sehingga ciumanku terlepas. Betapa panjang dan besar kurasakan. Sampai aku merasakan ujung kemaluan itu menyentuh dinding rahimku.
“Suamimu sepanjang inikah..?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala sambil terus menikmati melesaknya Kontol itu di liang vaginaku. Beberapa saat kemudian sudah amblas semua seluruh batang kemaluan Mas Toni. Aku pun sempat heran, kok bisa batang Kontol yang panjang dan besar itu masuk seluruhnya di vaginaku. Segera aku melipatkan kedua kakiku di belakang pantatnya. Sambil kembali mencium bibirku dengan mesra, Mas Toni mendiamkan sejenak batang Kontolnya terbenam di vaginaku, hingga suatu saat dia mulai menarik mundur pantatku perlahan dan memajukannya lagi, menariknya lagi, memajukannya lagi, begitu seterusnya hingga tanpa disadari gerakan Mas Toni mulai dipercepat. Karuan saja batang Kontol yang kudambakan itu keluar masuk di vaginaku. Vagina yang seharusnya hanya dapat dinikmati oleh suamiku, Mas Karmo.
Di alam kenikmatan, pikiranku menerawang. Aku seorang perempuan yang sudah bersuami tengah disetubuhi oleh orang lain, yang tidak punya hak sama sekali menikmati tubuhku, dan itu sangat di luar dugaanku. Seolah-olah aku sudah terjebak di antara sadar dan tidak sadar aku sangat menikmati perselingkuhan ini. Betapa aku sangat mengharapkan kepuasan bersetubuh dari lelaki yang bukan suamiku. Ini semua akibat Yuna yang memberi peluang seakan sahabatku itu tahu bahwa aku membutuhkan ini semua.
Beberapa menit berlalu, peluh kami sudah bercucuran. Sampailah aku pada puncak kenikmatan yang kudambakan. Orgasmeku mulai terasa dan sungguh aku sangat menikmatinya. Menikmati orgasmeku oleh laki-laki yang bukan suamiku, manikmati orgasme oleh suami sahabatku. Dan aku tidak menduga kalau rahimku pun menampung air sperma yang keluar dari Kontol lelaki selain suamiku. Singkat kisahku, kini aku sudah bekerja di salah satu perusahaan milik bapaknya Yuna. Dengan demikian kehiduapanku selanjutnya mulai membaik. Ini semua berkat bantuan dari sahabatku Yuna. Namun sekarang tercipta problema baru yang mengganggu pikiranku. Penghianatanku terhadap Mas Karmo tidak berhenti sampai di sini.
Gairah seksku tidak dapat tertahankan. Aku dapat melayani suamiku hingga beberapa kali. Dan jika aku tidak merasa puas, kulampiaskan gejolakku itu dengan Mas Toni, bahkan kalau Mas Toni tidak ada, aku mencari kepuasan seksku dengan siapa saja yang aku mau. Dan untungnya hingga kini suamiku tidak mengetahuinya, tapi apa mungkin dia telah mengetahuinya..? Ah! Aku tidak perduli.